Tuesday, September 18, 2018


CONTOH IKLAN ASYARAKAT



GO GREEN


Ada tindakan yang lebih bijaksana. Daripada membuang sampah sembarangah, kita dapat memanfaatkan kembali botol bekas air mineral ini untuk dijadikan vas bunga, tempat pensil dan celengan. Kita harus mulai peduli tentang dampak yang ditimbulkan dari membuang sampah sembarangan. Semua dapat dilakukan dari hal yang kecil. “Reuse, Reduce, Recycle”. Bila masih sulit untuk melakukan hal ini. Mari kita mulai dengan membuang sampah pada tempatnya


Kau buang kemana sampah mu?

Jika satu orang dibumi ini membuang sampah sembarangan tempat, maka akan ada banyak sampah berserakan diberbagai tempat. Membuang sampah sembarangan akan mengakibatkan banjir dan menimbulkan penyakit. Jadi buanglah sampah pada tempat sampah, sekecil apapun sampah tersebut.

SLOGAN CALON KETUA OSIS




assallammualaikum warrahmatullahi wabarakatuh
pada kesempatan kali saya akan sedikit membagikan pengetahuan saya tentang slogan dalam pencalonan ketua osis.


     tangguh dan terpercaya -        pekerja keras sejati yang jujur-       Maju organisasinya, bahagia anggotanya, berkembang sekolahnya-       Organisasi hebat, lahir dari pemimpin yang hebat-       Organisasi meraih prestasi-       muda yang berwibawa-        jenius pembawa perubahan-       siap memajukan sekolah dengan kerja nyata-       Lihat, dengar, dan rasakan bedanya-       Ambisi itu sangat dibutuhkan untuk mencapai cita-cita.-       Agama tanpa pengetahuan, maka dunia kan binasa



itulah ada nya assallammualaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Wednesday, September 12, 2018

 SEJARAH SEMAGOR DAN GEDUNG JUANG KABUPATEN BUNGO

Lapangan Semagor dan Gedung Juang 1945 yang kini menjadi museum adalah saksi bisu kekejaman penjajah Jepang di Bungo.
Selama pendudukan Jepang, kekejaman dilakukan tentara luar biasa bahkan warga Muara Bungo kala itu terpaksa menggunakan karung goni.
Salah satu pelaku sejarah yang masih hidup Mayor (purn) M Nasir menjelaskan, tentara angkatan darat Jepang dipimpin oleh Kolonel Namura. Mereka masuk ke daerah Jambi melalui daerah Palembang dan Padang. Dan pada tanggal 24 Februari 1942, tentara Jepang menyerbu masuk wilayah daerah Jambi.
"Dari daerah Palembang tersebut, serbuan tentara Jepang diarahkan ke Sarolangun Jambi, dan dapat diduduki tanggal 23 Februari 1942. Sehari kemudian Bangko dan Rantau Panjang diduduki pula," ujarnya mengisahkan.


"Kemudian Muara Bungo diserang oleh Belanda dan setelah pertempuran sehari semalam dengan pasukan Belanda, tanggal 28 Februari dapat diduduki oleh Jepang. Sedangkan Muara Tebo, baru diduduki tentara Jepang tanggal 4 Maret 1942," tutur pria yang kini berusia 89 tahun itu melanjutkan.
Kata Nasir, pada hari-hari permulaan datangnya tentara Jepang, tindakan kejam terhadap rakyat tidak dilakukan oleh Jepang. Namun tak beberapa lama rakyat dipaksa memenuhi kebutuhan perang tentara Jepang, seperti menanam biji-biji jarak di pinggir jalan, dan membuat lubang-lubang pertahanan.

Pohon-pohon karet banyak yang ditebang, rakyat diperintahkan untuk menanam padi, jagung, ubi dan bahan pangan lainnya untuk keperluan Jepang. Bahkan pangan yang ada di tangan rakyat sekalipun harus diserahkan kepada Jepang.
"Jepang menghambur-hamburkan uang kertas Jepang sebagai pengganti mata uang Belanda, akibatnya harga barang-barang menjadi naik. Harga pangan di luar jangkauan daya beli rakyat, apalagi harga sandang," katanya, Sabtu (18/3/2017).
Kemakmuran yang dijanjikan Jepang ternyata bagi rakyat Jambi adalah kemiskinan dan kelaparan. Karena kemiskinan rakyat tak dapat membeli sandang terutama pangan.

"Rakyat Muara Bungo banyak yang memakai goni sebagai pakaian. Rakyat kelaparan sebagai akibat tindakan dan sikap Jepang timbul di mana-mana, dan tidak sedikit yang meninggal dunia," ceritanya.
Bahkan Ken-pei-tai menyebarkan mata-mata dan kaki tangan yang juga disebut Ken-pei-ho di mana-mana, penduduk yang dicurigai ditangkap dan disiksa oleh Ken-pei-tai.
"Jepang memang sangat kejam, apalagi soal durian mereka itu rakus, makanan rakyat dirampas," ujarnya mengisahkan kekejaman Jepang.
Pemuda yang sudah dilatih Jepang dalam Heiho, Gyu gun, Sei-nen-dan, Bo-go-dang, Jei-ge-dang, turut merasakan penderitaan rakyat dan penduduk sebagai akibat dari segala macam tindakan pihak Jepang berupa penindasan, perkosaan, dan sebagainya menjadi modal perlawanan atau pemberontakan di mana-mana terhadap Jepang.
"Rakyat sebenarnya sudah mengadakan persiapan secara diam-diam, kemudian secara terang-terangan. Salah satu tempat yang dijadikan pertemuan gedung Juang, Saat itu ada Yusuf Alakaf, Hoessin Saad, Ibrahim Syamsir, Kapten Ramli, Usman Toha dan Ismail Hajat dan Dahlan Hamsah serta lainnya," katanya.
Pemberontakan terjadi kepada kekuasaan pemerintah militer Jepang dilakukan baik oleh rakyat Bungl maupun oleh unit-unit bersenjata yang pernah mendapat latihan Jepang maupun oleh kedua-duanya secara bersama-sama. Perlawanan ini terjadi di beberapa lokasi Muara Bungo," kata Ketua LVRI Bungo Tebo.
Kegiatan ini mencapai klimaks setelah tersiar kabar Jepang menyerah kalah pada tanggal 14 Agustus 1945 yang diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan oleh Sukarno Hatta, pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi diketahui oleh rakyat di daerah Jambi pada tanggal 18 Agustus 1945, melalui telepon dari A.K. Gani di Palembang.

"Di Muara Bungo setelah mendengar jepang kalah, para pemuda dan pejuang mengibarkan bendera di lapangan Semagor, makanya disana ada tugu tombak perjuangan, dan perlu diingat semagor itu adalah semangat gotong royong," kata Pria yang pernah mengawal Soekarno di Metro Lampung.
Kata Nasir lagi, pemuda-pemuda menyusun organisasi untuk menjaga keamanan umum. Badan Penjaga Keamanan telah berdiri sejak 16 Agustus 1945 diketuai oleh Haji Badaruddin Yahya mengambil alih kekuasaan dari Jepang.
"Beberapa orang Jepang yang menghalang-halangi digempur oleh pemuda. Harta benda dan senjatanya diserahkan kepada negara. Persiapan minyak yang disimpan Jepang untuk keperluan perangnya diambil alih dan digunakan untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan," kata pria penerima bintang Gerilya dan Bintang Sewindu ini.  Reporter: Ari Widodo


Sejarah kuamang kuning, kabupaten muara bungo


Sejarah singkat Kuamang Kuning, pelepat Ilir Kabupaten Muaro Bungo.
Kuamang kuning adalah salah satu Trans dari beberapa daerah di Provinsi Jambi, yang terletak di kabupaten Muara Bungo, Kuamang Kuning merupakan daerah Trans, dengan terdiri dari 20 Unit atau desa, yaitu Unit 1-20 Transmigrasi yang di lakukan pada tahun 1985 ini merupakan Transmigrasi Desa dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatra.
Penghasilan utama di Kuamang Kuning adalah dari perkebunan, terutama Kelapa Sawit, namun ada juga sebagian yang berkebun Karet secara minoritas, Suku daerah yang menjadi penduduk di Kuamang Kuning pada umumnya adalah pendatang dari jawa, Sunda, batak, Padang, dan Suku Pribumi Jambi.
Di Kuamang Kuning juga terdapat Suku asli atau Pribumi yaitu Suku Kubu yang masih bersifat nomaden dan masih mempertahankan budaya dari Nenek Moyang, suku Kubu memeiliki kebiasaan berpindah-pindah (nomaden), mereka hidup dari berburu hewan di hutan dan kemudian menjualnya ke pedagang pasar tradisional.
Satu hal yang menarik dari Suku Kubu ini adalah, mereka akan meninggalkan tempat tinggalnya apabila ada salah satu anggota keluarganya yang sakit atau meninggal, karena mereka merasa takut terhadap orang yang meninggal dunia (meninggal), mereka akan meninggalkan mayat tersebut di dalam rumah tempat dia tinggalnya.
Suku Kubu ini merupakan orang yang berasal dari kerajaan jambi, namun ada juga yang berpendapat dari zaman Penjajahan Belanda, yang melarikan diri ke hutan dan hinnga sekarang tidak mau berbaur dengan masyarakat luar.
Konon, pada zaman Kerajaan Jambi diperintah oleh Putri Selaras Pinang Masak, kerajaan diserang oleh Orang Kayo Hitam yang menguasai Ujung Jabung (Selat Berhala).





Serangan itu membuat Jambi kewalahan, untuk itu Ratu Jambi yang notabene adalah keturunan Kerajaan Minangkabau mohon bantuan kepada Raja Pagaruyung, dan Sang Raja memperkenankan permohonannya dengan mengirimkan pasukan ke Jambi melalui jalan darat (menyusuri hutan belantara).
Suatu saat ketika sampai di Bukit Duabelas mereka kehabisan bekal, padahal sudah jauh dari Pagaruyung dan masih jauh untuk melanjutkan perjalanan ke Jambi.
Kemudian, mereka bermusyawarah dan hasilnya kesepakatan untuk tetap tinggal di tempat tersebut, dengan pertimbangan jika kembali ke Pagaruyung disamping malu juga bukan hal yang mustahil akan dihukum oleh Rajanya.
Sementara itu, jika meneruskan perjalanan ke Jambi disamping masih jauh juga bekal tidak ada lagi, kemudian mereka bersepakat dan bersumpah untuk tetap tinggal di tempat itu dengan ketentuan siapa saja melanggarnya akan terkutuk dan hidupnya sengsara.

Sumpah itu adalah sebagai berikut :


Ke mudik dikutuk Rajo Minangkabau, ke hilir kena kutuk Rajo Jambi, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan kumbang, kebawah tidak berurat, ditimpo kayu punggur” (Kembali ke Minangkabau dikutuk Raja Minangkabau, ke hilir dikutuk Raja Jambi, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan, kumbang, ke bawah tidak berakar, ditimpa kayu lapuk).
Para tentara Pagaruyung yang membawa isteri dan tersest di Bukit Duabelas itulah yang kemudian menurunkan orang Kubu.
Terpilihnya bukit ini sangat beralasan karena di sana banyak batu-batu besar yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai benteng.
Selain itu, di sana asa sumber air dan sungai-sungai kecil yang menyediakan berbagai jenis ikan yang sangat dibutuhkan dalam keberlangsungan hidup mereka.



Itu merupakan asal usul mengenai suku kubu namun masih ada versi lainnya selain deskripsi ini, Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan.

Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang melarikan diri ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas.
Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo, Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi.
Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan.
Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam


Tuesday, September 11, 2018

pentingnya ilmu pengetahuan
pt>

assallammualaikum wr.wb diblog ini saya akan membahas tentang pentingnya ilmu pengetahuan dizaman ini.
Ilmu pengetahuan bermula dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas manusia. Manusia mempunyai rasa ingin tahu tentang benda-benda disekitarnya, seperti bulan, bintang, dan matahari. Bahkan ingin tahu tentang dirinya sendiri. Ilmu pengetahuan merupakan pencarian makna praktis, yaitu penjelasan yang bisa dimanfaatkan. Penjelasan ini telah menjadi dasar ilmu pengetahuan. semakin berkembangnya zaman, teknologi dan pengetahuan ikut berkembang. dari zaman sekarang teknologi sudah sangat bewrbeda dan sangat kita rasakan perbedaannya. apakah pengetahuan dan teknologi itu penting?

tentu iya, karna pada saat ini jika kita tidak memiliki pengetahuan kita akan tertinggal perubahan.
jika ada salah kata saya minta maaf. ini blog pertama saya