Wednesday, September 12, 2018


Sejarah kuamang kuning, kabupaten muara bungo


Sejarah singkat Kuamang Kuning, pelepat Ilir Kabupaten Muaro Bungo.
Kuamang kuning adalah salah satu Trans dari beberapa daerah di Provinsi Jambi, yang terletak di kabupaten Muara Bungo, Kuamang Kuning merupakan daerah Trans, dengan terdiri dari 20 Unit atau desa, yaitu Unit 1-20 Transmigrasi yang di lakukan pada tahun 1985 ini merupakan Transmigrasi Desa dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatra.
Penghasilan utama di Kuamang Kuning adalah dari perkebunan, terutama Kelapa Sawit, namun ada juga sebagian yang berkebun Karet secara minoritas, Suku daerah yang menjadi penduduk di Kuamang Kuning pada umumnya adalah pendatang dari jawa, Sunda, batak, Padang, dan Suku Pribumi Jambi.
Di Kuamang Kuning juga terdapat Suku asli atau Pribumi yaitu Suku Kubu yang masih bersifat nomaden dan masih mempertahankan budaya dari Nenek Moyang, suku Kubu memeiliki kebiasaan berpindah-pindah (nomaden), mereka hidup dari berburu hewan di hutan dan kemudian menjualnya ke pedagang pasar tradisional.
Satu hal yang menarik dari Suku Kubu ini adalah, mereka akan meninggalkan tempat tinggalnya apabila ada salah satu anggota keluarganya yang sakit atau meninggal, karena mereka merasa takut terhadap orang yang meninggal dunia (meninggal), mereka akan meninggalkan mayat tersebut di dalam rumah tempat dia tinggalnya.
Suku Kubu ini merupakan orang yang berasal dari kerajaan jambi, namun ada juga yang berpendapat dari zaman Penjajahan Belanda, yang melarikan diri ke hutan dan hinnga sekarang tidak mau berbaur dengan masyarakat luar.
Konon, pada zaman Kerajaan Jambi diperintah oleh Putri Selaras Pinang Masak, kerajaan diserang oleh Orang Kayo Hitam yang menguasai Ujung Jabung (Selat Berhala).





Serangan itu membuat Jambi kewalahan, untuk itu Ratu Jambi yang notabene adalah keturunan Kerajaan Minangkabau mohon bantuan kepada Raja Pagaruyung, dan Sang Raja memperkenankan permohonannya dengan mengirimkan pasukan ke Jambi melalui jalan darat (menyusuri hutan belantara).
Suatu saat ketika sampai di Bukit Duabelas mereka kehabisan bekal, padahal sudah jauh dari Pagaruyung dan masih jauh untuk melanjutkan perjalanan ke Jambi.
Kemudian, mereka bermusyawarah dan hasilnya kesepakatan untuk tetap tinggal di tempat tersebut, dengan pertimbangan jika kembali ke Pagaruyung disamping malu juga bukan hal yang mustahil akan dihukum oleh Rajanya.
Sementara itu, jika meneruskan perjalanan ke Jambi disamping masih jauh juga bekal tidak ada lagi, kemudian mereka bersepakat dan bersumpah untuk tetap tinggal di tempat itu dengan ketentuan siapa saja melanggarnya akan terkutuk dan hidupnya sengsara.

Sumpah itu adalah sebagai berikut :


Ke mudik dikutuk Rajo Minangkabau, ke hilir kena kutuk Rajo Jambi, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan kumbang, kebawah tidak berurat, ditimpo kayu punggur” (Kembali ke Minangkabau dikutuk Raja Minangkabau, ke hilir dikutuk Raja Jambi, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan, kumbang, ke bawah tidak berakar, ditimpa kayu lapuk).
Para tentara Pagaruyung yang membawa isteri dan tersest di Bukit Duabelas itulah yang kemudian menurunkan orang Kubu.
Terpilihnya bukit ini sangat beralasan karena di sana banyak batu-batu besar yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai benteng.
Selain itu, di sana asa sumber air dan sungai-sungai kecil yang menyediakan berbagai jenis ikan yang sangat dibutuhkan dalam keberlangsungan hidup mereka.



Itu merupakan asal usul mengenai suku kubu namun masih ada versi lainnya selain deskripsi ini, Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan.

Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang melarikan diri ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas.
Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo, Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi.
Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan.
Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam


No comments:

Post a Comment